Sumber foto: kompasiana.com
Bagiku, warisan adalah kekayaan, bukan kepunahan.
Salah satu kekayaan Indonesia adalah kaya akan seni dan budayanya. Budaya yang turun
menurun dari leluhur yang harus kita jaga, dan lestarikan agar anak dan cucu
kita dapat menikmati warisan tersebut.
Malam ini hujan turun lagi, namun tidak sederas hujan
dimalam-malam kemarin. Hening malam berpadu dengan suara hujan yang membuat
suasanya sangat candu di dalam hati. Tak lupa satu cangkir teh hangat yang
menemaniku untuk merayu malam agar tidak cepat berlalu. Namaku Sekar Ayu, biasa
dipanggil Sekar. Aku siswa kelas 3 SMA di Temanggung. Aku sangat menyukai tari,
sebab sejak aku kecil di desaku banyak yang menggelar kesenian tradisional, dan
bisa dibilang sejak saat itu jiwaku ini sudah tertarik dengan seni tari.
Malam itu, aku memutar video tarian tradisonal di
laptopku. Aku diam-diam belajar tari setiap malam, ku kenakan headset agar
orang tuaku tidak mengetahuinya. Sebab jika mereka sampai tau, bisa habis masa
depan ku nanti. Kuperhatikan betul ketukan demi
ketukan, irama yang mengiringi, serta karakter dalam tarian tersebut. Setelah
cukup lama memahami video tari aku melanjutkan dengan belajar pelajaran untuk
besok di sekolah, agar nilai akademik ku tidak menurun. Setelah selesai, aku merapikan
buku-buku dan melanjutkan mengejar mimpi lewat tidur diranjangku.
Pagi pun datang juga, suara ayam dan burung seakan-akan
berlomba untuk membangunkan manusia-manusia yang masih terlelap dalam tidur
nyenyaknya. Aku pun bergegas dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tak
lupa, setiap pagi ibukku selalu menyiapkan sarapan ku dengan bapak. Dan setelah
memastikan anak dan suaminya sudah makan masakkannya yang telah dimasak sejak
pagi tadi, ibu baru berangkat ke ladang. Begitu juga dengan bapak yang akan
berangkat jualan di pasar.
Sepulang sekolah, aku berlatih tari di sanggar milik
mbak Puput. Sudah sekitar delapan tahun aku belajar dengannya. Dan sudah
beberapa kali juga aku memegang gelar juara dalam event tari ditingkat daerah
dan sekolah. Namun dengan itu semua orang tuaku masih melarang jika aku
berkecimpung dalam seni tari. Mereka menganggap bahwa tari itu tidak ada
gunanya untuk masa depanku. Orang tuaku berpikir bahwa anaknya ini harus bisa
sekolah sampai dengan perguruan tinggi, agar bisa mengangkat ekonomi dan
derajat orang tuanya. Meskipun orang kampung, namun pendidikan adalah nomor
satu. Bahkan, setiap aku pamit untuk latihan tari, mereka selalu melarang.
Sehingga aku terpaksa membohongi mereka dengan alasan mengikuti kegiatan eskul
di sekolah, padahal aku berlatih di sanggar setiap sore. Dan selama ini orang
tuaku tidak mengetahui jika aku masih menggeluti seni tari.
Bagiku, tari ialah ungkapan jiwa yang dituangkan dalam
suatu gerakan. Dengan menari, dapat membuat pikiranku jadi tenang, gembira,
sehingga lupa akan masalah yang terjadi. Karena menari tidaklah sekedar gerakan
yang mengalun lembut saja, namun juga harus dapat meresapi dengan betul
karakter yang ada.
Selesai latihan, aku bergegas pulang ke rumah sebelum
petang datang. Setelah sampai di rumah, terdengar notif chat, ternyata dari mbak
Puput yang bilang bahwa akan ada event tari Internasional yang akan digelar di
Medan, dan aku ditunjuk untuk mewakili event tersebut. Namun, butuh waktu
kurang dari satu bulan untuk persiapannya. Saat itu juga aku langsung lemas,
karena ini adalah waktu yang aku tunggu-tunggu. Dan di sisi lain, tanggal
tersebut juga ada ujian sekolah yang harus aku lalui. Aku mulai bimbang, karena
jika aku ikut event tari aku tidak bisa ikut ujian dan bapak pasti sangat marah
besar denganku. Dan event tersebut adalah mimpiku sejak lama.
Aku dihadapkan dengan dua agenda besar yang menyangkut
masa depanku, dan lagi-lagi aku harus membuat keputusan yang cukup berat. Di
hari-hari selanjutnya aku berlatih dengan hati yang berat, aku belum menemukan
pilihan mana yang tepat untukku. Hingga hari itu pun tiba, aku memutuskan untuk
berangkat ke Medan, dan aku tidak berani meminta izin dengan orang tuaku,
sehingga kutinggalkan sepucuk surat diatas meja belajar.
Sepulang dari lomba, di ruang tamu, bapak dan ibu
sudah menungguku. Aku sudah siap dan pasrah dengan apa yang akan terjadi. Dan
duarrrr…. aku dimarahi habis-habisan. Sampai pagi masih saja diungkit-ungkit.
Pasalnya kemarin bu Rina (wali kelasku) datang ke rumah untuk menanyakan
keberadaanku. Karena sudah dua hari tidak datang ke sekolah.
Pagi harinya setelah sampai di sekolah, aku dipanggil
bu Rina ke ruangannya, karena aku sudah tidak mengikuti ujian sekolah. Kata bu
Rina ada amanat dari Waka Kesiswaan kalau aku mendapat kesempatan untuk
mengikuti ujian sekolah susulan, selain itu, aku juga akan direkomendasikan
sekolah untuk meneruskan ke perguruan tinggi di Institut Seni Indonesia (ISI)
dan mendapat beasiswa. Ternyata sejak pagi tadi ada banyak sekali media yang
menelefon sekolah untuk mewawancaraiku, karena telah menjadi juara favorit dievent
tari internasional. Dan memang, kemarin selesai acara juga sudah banyak media
yang meliput, tidak aku sangka, jika masih berlanjut sampai pagi ini.
Sepulang sekolah aku langsung memberitahukan keajaiban
tadi pagi pada orang tuaku. Dan syukur bapak sekarang sudah mengizinkanku untuk
terjun ke dunia seni. Aku melakukan itu semua karena aku menyukainya, bukan
karena ego. Karena seiring berjalannya waktu, anak-anak muda di daerahku sudah
jarang yang menekuni kesenian tari. Aku ingin seperti penari legendaris Didik
Nini Thowok si Maestro Tari. Dan percayalah, tidak ada mimpi yang salah, tetap
bekerja keras, karena Tuhan ingin mengetahui seberapa kuat dan sabarnya kita
untuk mengejar mimpi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar